Ebony and Ivory live together in perfect harmony
Side by side on my piano keyboard, Oh Lord, why don’t we?
We all know that people are the same wherever we go
There is good and bad in everyone
We learn to live, we learn to give
Eachother what we need to survive together alive
Saya selalu suka mendengar lagu
berjudul Ebony dan Ivory yang dinyanyikan oleh Paul Mccartney dan Stevie Wonder
ini. Lagu ini lamat-lamat terdengar didalam kepalaku saat membaca kontroversi
legalisasi pernikahan sesama jenis di berita online. Pun marak di media sosial.
Tagar #LoveWins masih menjadi tren topik sampai sekarang pun pemasangan gambar
pelangi sebagai dukungan atas keputusan tersebut. Walaupun sebenarnya Argentina
5 tahun lebih dulu melegalkan pernikahan sejenis namun diyakini bahwa putusan
Mahkamah Agung AS ini lebih berdampak ke seluruh dunia. Selain secara politis
adalah negara adidaya, AS juga berpengaruh besar di ranah sosial atau media. Ofcourse, who rule the media rule the
world. Tak heran jika media sosial menggembar-gemborkan soal peraturan baru
ini.
Saya hidup berdampingan dan dekat
dengan beberapa orang yang gay dan lesbian. Entah saya harus merasa jijik atau tertawa
saat mendengar pacar teman saya mendesah erotis dari dalam kamar. Sementara
mereka hanya berdua didalam kamar, lalu apa lagi yang terpikir oleh saya? Hidup
bersebelahan kamar dengan seorang lesbian memang membuat saya agak waspada dan
segan mengakrabkan diri. Dia adalah sahabat teman saya yang kebetulan dipanggil
menemani saya yang sendiri dirumah berkamar tiga. Terlalu banyak kekosongan
untuk dihidupi. Kehidupan yang kurang represi itu membuatnya sering membawa
pacar menginap. Maka dari itu, saya tak jarang mendengar gedebuk-gedebuk
perkelahian, tawa ataupun desahan. Ternyata saya kesepian dikamar sendiri.
Bahkan, saya agak waspada bila berpakaian minim di rumah, padahal dia juga
muhrim. Dia sepertinya berperan sebagai laki-laki untuk pasangannya. Pasangan
lesbian standar pada umumnya, teman saya yang sangat tomboy dan pacarnya yang feminim.
Saya pun sempat nongkrong
beberapa kali dengan para lesbian muda di KFC Ratulangi. Banyak dari mereka
yang berkenalan dan pacaran via Facebook. Mereka punya komunitas di media
sosial, tempat saling berbagi dan berkenalan. Bahkan saya juga mendengar cerita-cerita
gila para lesbian dari mereka. Love is
blind, darling! Mereka rela berkorban apapun demi cinta pada pasangannya.
Lain lagi dengan sahabat saya
yang berjenis kelamin laki-laki. Dia seorang gay, tapi kelakuannya didominasi
oleh sifat jamaliyah. Saya memperlakukannya pun bak perempuan, bermanja,
bergelayut dan bergosip. Meskipun kadang, orang-orang bilang kami sebaiknya
pacaran saja. Tapi, perlu kalian tahu, kami tak mungkin bersama karena selera
kami “sama”. HAHAHA. Sahabat saya ini tak jarang menunjukkan foto
kemesraannya ataupun percakapannya dengan pasangannya. Rasa jijik mungkin ada
tapi dia sahabat saya yang super baik. Dia pernah bercerita masa kelam penyebab
dia menjadi seorang gay sampai sekarang. Dari dia pula kuketahui soal situs-situs
chatting sesama gay atau
kelakuan-kelakuan seksual aneh para pasangan sejenis.
Dari cerita-cerita mereka,
kuketahui penyebab seseorang menyukai sejenis kebanyakan karena trauma. Entah
trauma masa kecil atau sakit hati karena pasangan lawan jenisnya. Sebenarnya
saya ingin bercerita lebih detail, namun saya sudah berjanji tidak
menceritakannya pada siapapun. Biarlah menjadi rahasia pribadi masing-masing
para penyuka sejenis itu.
Saya dihadapkan pada masalah
apakah saya harus menentang atau mendukung. Sungguh absurd memilih antara kebenaran dan kebaikan. Saya meyakini bahwa
menyuka sesama jenis tidak dianjurkan oleh agama, namun bukankah setiap agama
bernafaskan perdamaian dan kebaikan. Dalam hal ini, apakah mungkin saya
mengecam sahabat yang baik, bahkan lebih baik dari mereka yang menyebut diri “normal”.
Saya kira, LGBT terus mempertanyakan tentang toleransi sesama manusia. Saat
ini, adanya peraturan legalisasi pernikahan sejenis dan menjamurnya komunitas
LGBT secara terang-terangan menunjukkan keeksisan mereka. Dunia bukan lagi
terdiri dari hitam dan putih, namun merah hijau kuning biru nila ungu pun turut
meramaikan interaksi sosial masyarakat. Tidak hanya lelaki dan perempuan yang
berpasangan, namun ada lesbian, gay, biseksual dan transgender. Bukankah warna-warna
lebih indah bila disandingkan bersama?
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
1 komentar:
"Sungguh absurd memilih antara kebenaran dan kebaikan".Secara manusaiawi terkadang kita terjebak untuk menjadi manusia baik bagi mereka yang berlaku baik. Tetapi, apa selamanya kita menyembunyikan kebenaran dan membiarkannya terlena dalam suatu perbuatan yang tak seharusnya??
Posting Komentar