Cerpen yang ndak tau apa judulnya.
Sejak melangkahkan kaki diruangan
kantorku yang baru, aku merasakan udara aneh. Sepertinya menyesak dirongga
dada, menghimpit. Aura lain memenuhiku ditempat ini, padahal aku baru saja
menyesap angin laut seperti ini dan beberapa hari kedepan akan menjejali hal
yang sama. Lokasi kantorku memang dekat dengan laut. Aku dipindahtugaskan ke
daerah pesisir karena sesuatu hal yang agak malas kujelaskan disini. Di hari
pertama aku harus berkenalan dan melakukan segala tetek bengek kelakuan pegawai
baru pada umumnya. Tak lama aku hanya termenung di mejaku, untung saja aku
punya ruangan sendiri yang terpisah dari pegawai lainnya. Selama sekitar
seminggu pertama bekerja disini, aku belum terlalu sibuk. Proyek perusahaan ini
memang baru saja mulai jadi masih perlu berbenah beberapa hal sebelum
benar-benar memulai pekerjaan.
Aku masih ingat saat pertama bertemu
dengannya. Tepat dihari Senin kedua aku bekerja akhirnya aku bertatap muka
dengan dia dan aku hanya mampu tersenyum simpul. Beberapa hari sebelumnya aku
sebenarnya tak sengaja melihat orang yang berseragam sama dengan seragam wajib
tempatku bekerja, namun baru kali ini aku melihat wajahnya. Dia selalu
menyandar ditiang halte tempat kami bersamaan menunggu bus antar kota. Setelah
hampir setiap pagi mendapatinya, aku bahkan sudah hapal gayanya yang suka
menunduk dan memainkan kakinya.
Akhirnya di minggu ketiga, aku
mulai berbicara dengannya. Kini hampir setiap hari kami mengobrol mulai dari nama,
tempat tinggal, kesibukan dan hal lainnya yang tidak terlalu bersifat pribadi. Hanya
setiap pagi, tapi bagiku itu semacam penyemangatku setiap hari sebelum memulai
aktivitas. Setiap malam sebelum tidur, aku seakan-akan ingin matahari lebih
awal menjemputku. kami memang tak sempat bila harus berjumpa dikantor, bahkan
dikantin pun aku tak menemuinya. Aku selalu menghabiskan waktu istirahat dengan
bergosip bersama teman-teman perempuanku dikantor. Sebenarnya aku agak malas
bersosialisasi tapi tak apalah, aku bisa lebih tertekan bila pekerjaanku tak
diselingi dengan mencurahkan isi hati ke orang lain walau terbatas. Aku
sebenarnya juga agak sulit menceritakan hal-hal pribadi dengan orang lain. Aku
bahkan merasa tak pernah cocok dengan lingkungan sosial manapun. Dengan kata
lain, aku adalah tipe orang yang tertutup. Aku selalu menyalahkan orangtuaku
akan sifatku, sepertinya mereka tak pernah mendidik dan menyayangiku dengan
benar.
Mungkin rasa sesak yang
menghantuiku sejak awal kedatanganku mulai berkurang saat bertemu dan berbicara
dengannya. Atau mungkin saja rasa sesak itu adalah dia. Entah sejak kapan kami
mulai janjian bertemu sepulang kantor. Antara sadar dan tidak, aku menikmati
kebersamaanku dengannya. Kadang aku takut, aku ingin lebih dekat tapi tidak
ingin dia mengenalku lebih jauh. Seperti ini cukup membahagiakan meski selalu
rindu. Kami mulai sering berkirim pesan atau bahkan saling menelpon berjam-jam.
Kadang aku heran, dia mau saja melakukan ini itu untukku padahal kami baru saja
kenal. Aku juga tak pernah bercerita mengenai perasaanku terhadapnya, tahukah
dia?tak curigakah dia? Pernah suatu kali aku menanyakan soal pasangannya, tapi
dia hanya membisu. Aku tersadar bahwa itu pertanyaan yang salah.
Sudah memasuki empat bulan kebersamaan
kami, aku semakin gila. Aku mulai merasa protektif bila menyangkut dirinya. Aku
hampir tak tahu mana yang lebih sering kulakukan, menghidup udara ataukah
memikirkannya. Pernah pula aku
menunggunya didepan pintu kantornya di jam istirahat tapi dia tak kunjung muncul,
aku malu bila harus bertanya kepada pegawai lain. Ah bukan malu, tapi takut.
Aku takut mereka akan mencurigaiku bila tiba-tiba saja aku mencari orang yang
tak pernah kutemui atau bahkan tak mungkin punya urusan denganku. Wajar saja,
yang kutahu dia berkantor di lantai empat. Aku hanya pernah melihat namanya di orchart perusahaan. Bukan pernah, tapi
beberapa kali jika sedang merindukannya. Kadang aku bertanya pada diri sendiri,
dia begitu perhatian terhadapku tapi tak pernahkan terlintas dipikirannya untuk
bertemu denganku di kantor? Tak pernahkah dia merasa rindu padaku? Apakah dia
memikirkanku? Apakah kita berdua salah? Kalau ada yang perlu disalahkan, tolong
salahkan nafsuku yang tertarik padanya.
Saking gemasnya, suatu hari aku
mulai mencari tahu tentang dirinya. kutelusuri jaringan sosialnya hanya untuk
tahu apakah dia pernah mengunggah foto-fotonya atau foto pasangannya. Bisa jadi
dia telah menikah tapi aku saja yang tak tahu. Tapi bila benar dia sudah
menikah, tidak mungkin kami bisa saling menelpon berjam-jam atau bahkan hampir
tiap saat bertukar pesan. Sayangnya, dari sekian intensifnya komunikasi kami
berdua, kami sangat jarang menceritakan kehidupan pribadi masing-masing. Kami
hanya bercerita tentang hal-hal yang bersifat umum. Aku hanya menemukan sebuah
foto di jejaring sosialnya, itupun foto “selfie”
dipinggir laut yang dekat dari kantor.
Suatu sore sepulang kantor aku
berencana menemuinya. Baru pagi itu aku tak bertemu dengannya, penasaran apakah
dia sedang sakit atau sesuatu terjadi padanya. Seharian aku seperti kehilangan
matahari penyemangat, hanya duduk lemas di kursi putarku. Aku khawatir, gelisah
menunggu matahari mulai malu-malu tanda aktivitas ditempat kerja harus
disudahi. Beberapa kali aku menelpon telepon genggamnya tapi tak jua aktif. Aku
hanya tahu nomor telepon selularnya, tak tahu nomor rumahnya. Bahkan rumahnya aku
tak tahu dimana, aku hanya tahu nama jalannya. Sebagai orang yang baru beberapa
bulan tinggal di kota itu, letak jalan itu pun aku tak tahu. Aku kebingungan di
halaman depan kantor. Aku sadar, sedikit sekali hal tentangnya yang ku ketahui.
Kuputuskan untuk segera pulang saja, mungkin aku terlalu berlebihan. Paling-paling
esok hari dia muncul lagi dengan tawa terbahak-bahaknya yang konyol.
Ini pagi ketiga aku tak
menemuinya dihalte bus. Aku mulai kacau. Setiap sejam aku menelponnya tapi
tidak pernah aktif, smsku mungkin sudah puluhan tapi tak satupun yang terkirim.
Aku sudah terlampau jauh menyukainya. Aku memang menyukainya, kalau soal cinta
pun aku tak tahu. Kata mereka, cinta dalam hubungan seperti ini itu tidak ada,
yang ada hanya nafsu. Akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi kantor tempat
dia bekerja. Toh cuma berbeda
beberapa lantai dengan ruangan kantorku. Baru saja membuka pintu ruang depan,
aku mendapatinya sedang membersihkan kaca. Dia memang hanya seorang cleaning service, beda denganku yang
berprofesi sebagai assistant engineer
tapi diperusahaan yang sama. Dia tertegun melihatku, seakan ingin lari tapi
hanya membeku ditempat. Kulihat petugas front
office tiba-tiba berbisik dengan temannya namun tetap bertanya tentang
keperluanku kekantor itu. Aku hanya menjawab pelan meminta izin ingin berbicara
dengan petugas cleaning service
didepanku ini.
Dia menarikku keluar ruangan
menuju lift, kami hanya diam sepanjang jalan lift menuju lantai satu. Akhirnya
dia membuka suara ketika kami bersamaan masuk ke dalam toilet lobby.
“Maaf,” katanya sedikit berbisik.
Aku tiba-tiba mencecarnya dengan
berbagai pertanyaan tentang kabar dirinya, mengapa dia tak pernah terlihat lagi
di halte, tak pernah mengirim pesan atau membalas pesan, tak pernah
menghubungiku. Lama sekali dia hanya terdiam menunduk tak membantah tapi aku
tahu dia mendengarkan dengan seksama. Saat itu aku malah berharap dia
membantahku, memberikan alasan-alasan lalu kembali seperti semula. Bahkan
alasan tak masuk akalpun aku terima asal dia kembali seperti dulu. Tak tahukah
dia bahwa aku merindunya sejak pertama wajahku tercermin dimatanya.
Setelah aku diam beberapa saat,
dia membuka suara. “ aku akan menikah minggu depan, Ibuku menjodohkanku dengan
anak sepupunya,”. Tapi aku tak kaget, aku hanya merasakan sesak yang lebih
menghimpit daripada saat pertama menjejakkan kaki dikota ini. Aku sudah pernah
memikirkan hal-hal seperti ini.
“Aku tak peduli, tapi bisakah kau
bersikap seperti biasa saja? Seperti dulu saja, saat kau selalu berkata kau
rindu memelukku,” kataku seperti sedikit memohon.
“Kota ini masih cukup terpencil
Lex, semua orang membicarakan hal-hal terkecil pun yang mereka temui dijalan.
Bahkan soal hubungan kita, Ibuku pun mendengarnya. Mungkin karena itu dia
tiba-tiba menjodohkanku,” kali ini volume suaranya meninggi.
“Lex, dikota ini hubungan sejenis
masih tabu. Orang-orang melihat jijik kepadaku. Setiap hari Ibuku memakiku. Aku
tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini denganmu, “ lanjutnya lagi. Dia lalu
meninggalkanku pergi ketika seorang remaja laki-laki memasuki toilet.
Aku hanya terhenyak sambil
bercermin di cermin toilet itu sementara orang-orang lalu lalang bergantian
buang air kecil dibelakangku. Mungkin saja aku tak pernah merasa seperti Doni
karena aku orang baru didaerah ini, tak ada orang yang memakiku secara
langsung. Mungkin saja aku pura-pura buta saat orang-orang lain dihalte
melihat-lihat aneh saat kami mengobrol mesra setiap pagi. Mungkin saja aku
pura-pura tuli saat teman-teman perempuanku mengolok aku jarang terlihat jalan
bersama teman laki-laki dikantor, malah lebih sering bergosip dengan mereka.
Mungkin tanpa sadar aku selalu saja mengeluh merasakan aura aneh dan tak pernah
merasa cocok dilingkungan manapun.
Makassar, 25 Februari 2014
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar