Menulis adalah Kekuasaan
Menulis
adalah cara melepaskan diri dari kegilaan, kata Agus Noor. Hujan memang sedang
gila-gilaan menggedor loteng Rumata Art Space pada hari Minggu lalu, 3 Mei
2015. Tapi, itu tidak menyurutkan para jiwa resah ingin menulis untuk menyimak
diskusi Kepenulisan dan Aktivisme. Hari itu, Kak Jimpe, Kak Ilham dan Kak Bobby
menceritakan kisah mereka tentang perpustakaan yang mereka kelola, dipandu oleh
Kak Abe. Terimakasih kepada Rumata dan Revius yang mengadakan acara keren ini
dan menginspirasi saya membuat tulisan ini. Acara ini juga sekaligus sebagai
pre-event MIWF2015 yang tak lama lagi berlangsung. I can’t hardly wait!
Kampung
Buku adalah perpustakaan sekaligus rumah bagi Kak Jimpe dan keluarganya.
Kebanyakan aktivitas mereka memang berpusat disitu. Awalnya Kak Jimpe bersama
teman-temannya sepakat mendirikan Komunitas Tanahindie pada tahun 1999.
Aktivitas Tanahindie berkonsentrasi pada diskusi atau kajian tentang kota. Lalu
Kak Jimpe pun aktif di Ininnawa beberapa tahun setelahnya. Ininnawa sendiri
mirip dengan Tanahindie namun lebih berpusat pada kegiatan penerbitan lokal.
Kak Jimpe berceritera bahwa Ininnawa sudah menerbitkan sekitar tiga puluhan
buku. Ininnawa hadir untuk menjawab keresahan mereka atas kekurangan referensi
buku. Dahulu, mereka hanya bisa menitip buku dari teman-teman yang ke Jawa. Apalagi
banyaknya buku-buku berkualitas tinggi namun dalam teks bahasa inggris.
Ininnawa mencoba menerjemahkan buku-buku tersebut dan menerbitkannya secara
independen. Selain bentuk fisik, Ininnawa juga mendirikan website
MakassarNolKm.com sebagai wadah jurnalisme warga. Siapapun bisa mengirimkan
tulisannya, khususnya tulisan tentang kota termasuk tentang kuliner bahkan
wisata kota.
Setelah
Kak Jimpe, ada Kak Ilham yang bercerita dengan penuh kesabaran soal Rumah Baca
Philosophia. Berdiri sejak 2008 dan diilhami oleh Kampung Buku pun Kedai Buku
Jenny. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan didirikannya Philosophia ini.
Mereka agak cemas dengan minat baca masyarakat yang sangat kurang. Philosophia
berusaha untuk mebangkitkan basis budaya intelektual di Makassar dengan membuka
ruang baca yang mudah dijangkau. Butuh perjuangan yang cukup keras dan panjang
agar Philosophia tetap bertahan sampai sekarang dengan perekonomian yang cukup
sulit. “Alhamdulillah, Rumah Baca Philosophia memiliki koleksi sekitar 5000
judul buku,” Kata Kak Ilham. Kebanyakan mahasiswa yang sering berkumpul disana
adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi jadi koleksinya pun kebanyakan bergenre
Ekonomi. Sehingga banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mengerjakan skripsi
atau tesis disana. Selain kajian dan diskusi, Philo, begitu sapaan singkatnya,
juga sering mengadakan bedah film atau buku. Baru-baru ini mereka juga menambah
koleksi buku anak-anak dan memanggil anak-anak tetangga datang dan belajar
disana.
Lain
halnya dengan Kedai Buku Jenny, inspirasi untuk mendirikan Kedai Buku Jenny
berasal dari keseringan menonton acara musik saat mereka sedang mengejar gelar
S2. Kak Bobby serta temannya berusaha mengkolaborasikan buku dan musik maka lahirlah
Kedai Buku Jenny. Nama Jenny sendiri berasal dari nama band favorit mereka.
Selain berjualan buku, mereka juga berjualan cd-cd musik dan memasang beberapa art work di kedai mereka. Tagline
mereka; Almost Book Shop Barely Art
Gallery. Nah, setiap bulan mereka mengadakan KBJamming. Acara ini mereka
adakan karena ingin menonton gig musik sedangkan mereka kekurangan info mengenai
gig-gig yang ada di Makassar, alhasil mereka membuat dan mengundang band-band
lokal untuk bermain di tepat mereka. Di KBJ juga ada Malala Library. Nama Malala
di ambil dari nama seorang aktivis perempuan yang di tembak mati karena memperjuangkan
haknya atas pendidikan dan juga mulai menerbitkan buku bagi teman-teman yang
kurang percaya diri menerbitkan tulisannya.
Menyenangkan
sekali bahwa banyak anak Makassar yang tetap peduli pada nafas-nafas
kepenulisan dan literasi di antara kesemrawutan modernitas saat ini. Perlakuan
zaman seakan-akan menggiring kita menjadi tak acuh dan kembali ke zaman
jahiliyah. Semoga nafas-nafas ini terus berhembus menghangatkan pikiran dan
perasaan kita. Kak Jimpe dan Kak Bobby adalah senior saya di kampus, tepatnya
jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Saya dan teman-teman saya sejak maba memang
sangat mengagumi mereka. Semoga orang-orang seperti mereka selalu hadir
mengimbangi zaman dan memberi inspirasi.
Kak
Abe pun mulai menggiring diskusi tentang aktivitas menulis para pembicara. Pada
awalnya Kak Jimpe senang menulis puisi, lama kelamaan akhirnya sangat tertarik
di bidang jurnalisme. Adapun penelitian Kak Jimpe akhirnya di terbitkan menjadi
buku oleh Ininnawa. Sedangkan Kak Bobby sendiri bercerita dengan semangat
pengalaman menulisnya sejak kecil. Dia sangat senang mengarang waktu SD tapi
kemudian minat menulisnya itu hilang pada saat SMP dan SMA. Di saat kuliah, dia
pun bertemu dengan seseorang yang sangat memotivasi dia untuk menulis,
seseorang yang akhirnya melahirkan anak-anaknya. Awalnya mereka selalu saling
berkirim surat, akhirnya Kak Bobby merasa bahwa sepertinya dia harus merasa
berutang tulisan dulu pada seseorang agar dia tergerak untuk menulis. Kak Ilham sendiri menceritakan pengalaman
menulisnya yang juga berkaitan erat tentang seorang perempuan.
Saya
tiba-tiba teringat tentang cerita Loro Jonggrang yang memberikan syarat
membangun seribu candi dalam semalam kepada Bondowoso. Goenawan Muhammad dalam
bukunya sempat bercerita tentang legenda itu dan berangan-angan bahwa mungkin
Bandung Bondowoso membisiki Loro Jonggrang,”Ada hal yang mustahil yang membuat
kita memilih dan berbuat.” Seseorang bisa tergerak untuk menulis hanya karena
kecintaannya pada sesuatu, entah itu kekasihnya atau pun tanah kelahirannya. Seorang
peserta diskusi pun sempat menceritakan kisahnya dalam dunia kepenulisan. Tidak
ada alasan untuk tidak menulis, seorang ibu dengan kesibukan rumah tangga pun
tetap bisa eksis menulis.
Hari
ini, kita bisa berbahagia karena cukup banyak media yang mampu mewadahi kita
untuk menulis dan bisa memamerkan karya kita didepan khalayak. Media-media
besar pun mulai melirik penulis-penulis muda. Di Makassar sendiri ada kolom
literasi Tempo atau Revius yang selalu senang menerima tulisan anak-anak muda Makassar.
Bahkan blog pun bisa menjadi wadah paling praktis untuk menulis.
Saya
sendiri sebenarnya senang menulis, namun rasa malas kerap menghampiri. Saat SD,
saya juga sangat senang mengarang. Teman-teman saya sering heran jika saya bisa
mengarang yang panjang. Kemudian masuk SMP, saya juga seorang reporter di buletin
sekolah. SMA pun begitu, kami memiliki majalah dan saya bekerja sebagai
reporter bahkan sempat mengikuti Diklat Jurnalistik Abu-Abu yang diadakan UNM.
Sejak dulu, saya memang menyenangi dunia jurnalistik, Ketika kuliah, saya sempat
mengikuti pengkaderan Identitas namun terhenti karena tidak sanggup berkompromi
dengan waktu. Waktu SMA, saya juga sempat menulis tangan beberapa cerita-cerita
karangan saya, juga puisi-puisi. Memasuki waktu kuliah adalah masa transisi
yang cukup membingungkan. Saya tergiur dengan kesenangan jalan-jalan dan kurang
menghabiskan waktu membaca dan menulis. Masa modern menawarkan begitu banyak
pilihan dalam menghabiskan waktu dan berusaha menstigma kita bahwa itu adalah
kebahagiaan.
Mungkin
dengan tipikal tertutup seperti saya, menulis adalah pilihan yang baik. Kita
bisa menuangkan perasaan-perasaan kita tanpa perlu khawatir tentang apapun. Menulis
adalah kekuasaan paling absolut dari dalam diri seorang manusia. Menulis pun
adalah cara yang mudah untuk mempersuasi orang lain dalam kebaikan. Ayo
menulis!
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar