w

daydreamer

Home Archive for 2017
Melihat iklan Synchronize Fest yang berseliweran di lini masa media sosial, akhirnya saya memutuskan ingin menghadirinya. Apalagi setelah mengecek line up artis dan band yang hadir, tambah menggiurkan. Sekitar dua minggu sebelum acara saya terus memikirkan konser ini, tapi membeli tiketnya tepat sehari sebelum acara. Saya janjian dengan teman saya bernama Puspa. Kebetulan saya melihat dia me-like Instagram Synchronize Fest, lalu saya pun mengajak dia pergi bersama.

Hari Jumat, 6 Oktober 2017 pun tiba. Saya sedang tugas kantor sampai ke Bekasi dan tiba dirumah pukul setengah lima jadi saya tidak bisa datang lebih awal. Setengah 6 saya sudah berada di stasiun kereta yang kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal saya. Hari pertama Synchronize mulai pukul 3 sore, namun band yang tampil mulai setelah maghrib. Agak menyesal juga tidak datang lebih cepat karena ada live mural dan graffiti dari @garduhouse, Ahmad Muarif (@mad.fire), dan Djali. Oh iya, yang bikin saya nyesal tidak lihat live painting itu karena ada Marishka Soekarna, saya adalah salah satu fansnya.

Setelah pusing mencari gerbang masuk, akhirnya kami tiba dengan selamat di acara. Kami langsung menuju panggung yang menampilkan The Sigit. Sayangnya, kami hanya sebentar menyaksikannya. Setelah rehat sejenak, kami melanjutkan untuk mengambil tempat di depan panggung yang menampilkan Navicula, band psychedelic dari Bali. Band ini cukup terkenal karena lirik-liriknya yang sarat isu sosial dan lingkungan. Saya cuma pernah nonton Roby Navicula sendiri. Kebetulan dia pernah main di MIWF jadi otomatis saya nonton. Gitarisnya juga pernah saya nonton karena dia juga vokalis band Dialog Dini Hari. Ini baru pertama kali saya menonton Navicula komplit. AND IT WAS COOL!
Setelah mendengar band grunge, kami berbalik menonton band yang lebih ramah telinga, Mocca. Band ini juga salah satu favorit saya dan cukup banyak lagunya yang saya hapal. Siapa sih yang tidak bahagia nonton konser dengan lagu yang sering didengar? Terakhir saya menonton Mocca sekitar tahun 2015 sebelum ini. Nah, setelah Mocca, kami bergeser ke panggung utama yang menampilkan Barasuara. Band yang cukup menggegerkan belantara musik Indonesia. Lagunya memang sudah terlalu sering dibawakan tiap konser tapi entah kenapa, aksi panggung mereka selalu saja keren.

Setelah menonton Barasuara, saya berpisah dengan Puspa karena saya ingin sekali menonton Morfem. Band yang kedengarannya noise rock ini telah menarik perhatian saya, lupa sejak kapan. Awalnya saya hanya membaca ulasan tentang band ini di internet, akhirnya saya dengarkan beberapa dan tertarik. Semacam mendengar Iggy Pop, tsah! Hahaha. Sejak itu, saya penasaran sekali ingin menonton, meskipun saya tidak terlalu hapal lagu-lagunya.

Di Synchronize, beberapa band memang memiliki jadwal manggung yang sama. Total ada lima panggung yang berdiri, Dynamic Stage sebagai panggung utama dan paling besar kemudian Lake Stage, kedua terbesar. Panggung yang lebih kecil ada dua, Forest Stage dan District Stage. Semua ada diruang terbuka kecuali yang terakhir dengan ukuran paling kecil yaitu Gigs Stage, berada dalam ruangan full AC agak remang-remang, penuh doodle di dinding serta tulisan dengan cat fosfor. Setelah saya lihat di Instagram, ternyata masing-masing panggung ini melambangkan tema event. Dynamic Stage mengambil tema kedinamisan sebuah pergerakan, Lake Stage melambangkan keintiman event sekaligus berada dekat dengan danau. Forest Stage dinamakan karena berada di areal yang banyak pepohonan, sedangkan District Stage menjadi representasi kehidupan di dalam kota-kota urban, dimana musik menjadi salah satu elemen penting. Gigs Stage seperti yang saya ceritakan di atas, berada di dalam ruangan yang agak kecil karena ternyata panggung ini sengaja didesain menyerupai café dan pub yang kecil dan sempit, dimana kebanyakan band dan artis memulai karir dari tempat-tempat seperti itu.

Setelah menonton Morfem, saya janjian nonton lagi dipanggung yang sama dengan Puspa, kami ingin menonton Efek Rumah Kaca, walaupun agak telat jadi saya hanya bisa menonton dari belakang. Sang vokalis, Cholil, tidak bisa hadir malam itu karena tidak sempat pulang ke Indonesia tetapi mereka menampilkan video permintaan maafnya. Jadi ERK dibantu oleh sejumlah artis yang juga nampil tepat hari itu seperti Iga Massardi ‘Barasuara’, Roby ‘Navicula’, Arina ‘Mocca’, dimana Ade ‘Sore’ menjadi vokalis pengganti utama. Asyiknya karena lirik lagu ditampilkan di layar saat dimainkan hingga semua orang bisa ikut menyanyi. Band ini menjadi penutup hari pertama saya di Synchronize Fest. Saya hanya sempat menonton D’essential Groove dari kejauhan. Tipe X juga tak sempat saya nonton.

Di hari kedua, kami menunggu kereta terlalu lama! Padahal saya mau buru nonton Feast. Awalnya saya penasaran dengan band ini karena salah satu judul lagunya “Sectumsempra”. Yakin sekali ini terinspirasi dari Harry Potter yang juga sangat saya gemari. Hahaha. Well, toss deh buat Feast! Sayang sekali saya tidak sempat nonton kalian. Akhirnya saya cuma dapat dua lagu terakhir Adhitya Sofyan. Beruntungnya adalah saya masih sempat mendengar dia menyanyikan lagu berjudul “Gaze” which is my most favorite song from him gara-gara nonton serial Sore, iklan Tropicana Slim. Hahaha.
Sebenarnya yang bikin kesal selama Synchronize Fest adalah kamu tidak bisa menonton semua band yang nampil. Apalagi kalau beberapa band favoritmu main di jadwal yang sama, alhasil kita cuma bisa bagi-bagi waktu dan tentu saja, lari kesana kemari. Walaupun tidak sempat nonton Feast, saya bahagia bisa nonton Float dan Indische Party setelahnya. Indische Party adalah salah satu band yang paling saya tunggu-tunggu. Berasa nonton The Last Shadow Puppet. Hahaha, iya, maunya nonton Alex Turner deh! I just love their music. Oh ya, waktu pertama lihat poster band ini, saya kiranya si cewek itu penyanyinya, ternyata drummernya! Keren.

Setelah euphoria berlebihan, saya menengok sebentar ke Iksan Skuter. Penasaran, soalnya teman saya Puspa selalu memutar lagunya di snapgram. Lagu-lagu Iksan memang banyak mengangkat isu lingkungan dengan genre folk. Dia main di Gigs Stage jadi terpaksa saya harus jinjit-jinjit melihat penampilannya. Sehabis Iksan Skuter, saya dan Puspa memutuskan untuk jajan. Lumayan banyak jajanan di venue, mungkin itu sebabnya dilarang membawa makanan atau minuman dari luar. Juga ada banyak store baju dan musik. Saya pun kalap membeli 3 CD. Hahaha.

Setelah break maghrib, saya sudah ambil posisi menonton Scaller dan Puspa menonton Ebiet G. Ade. Ini adalah band alternative rock andalan yang saya tunggu-tunggu. Apalagi mereka menampilkan lagu-lagu favorit saya. FYI, si vokalis dan gitarisnya akan segera menikah. Setelah itu, saya juga sempat melipir menonton Under The Big Bright Yellow Sun. Ini adalah kali pertama saya menonton dan mendengar band ini. Saya langsung ingat Toe, band post rock yang saya suka juga (Semuanya mi ko suka, Weny!!!). Dalam hati saya mengumpat,” Where have you been, Wen?! Kok baru dengar band ini?! Ish.”

Saya lalu kabur lagi menunggu penampilan Deadsquad. Kemudian Synchronize heboh karena ada Jokowi datang menonton, dia langsung dikerubuti orang-orang untuk berfoto. Saya tidak mau meninggalkan posisi nyaman menonton, Jokowi bisa nantilah ketemu lagi. (Sok) hahaha. Saya lalu menonton Melancholic Bitch. Band yang juga saya garis bawahi wajib nonton. Nice shot, dude! Kemudian, saya bertemu dengan Puspa setelah pisah nonton beberapa band dan kami ambil tempat untuk nonton The Adams bagian depan panggung. Astaga, band ini sudah dua kali main di Makassar dan saya selalu tidak ada. Maka dari itu, saya bahagia sekali bisa nonton band ini. Awalnya karena ada Ale, anggota band White Shoes and The Couples Company favorit saya sepanjang masa sejak dahulu kala, tapi akhirnya keenakan juga dengar musiknya. Apalagi namanya The Adams. Saya selalu mengasosiasikan diri dengan Wednesday Adams dari film The Adams Family yang memiliki dark personality seperti saya. (Pret!) Hahaha. Aneh-aneh juga alasan saya dengar musik tapi intinya band The Adams love banget lah. Sayangnya saya sempat mendengar kesalahan nada dari keyboardist-nya.

Saya sempat menengok Elephant Kind karena belum pernah dengar musiknya tapi hanya sebentar, saya kurang tertarik. Hehe. Band penutup yang saya nonton di hari kedua adalah Burgerkill. Waah kapan ya saya terakhir nonton band ini, sudah lama sekali. Kadang saya ragu-ragu kalau mau nonton band dengan genre seperti ini karena takut di senggol anak-anak muda yang terlalu menikmati lagu. Kaki dan pinggang saya mulai sakit sampai di rumah. Lelah dan bahagia bercampur. Lalu ada kejadian lucu juga karena Puspa cerita kalau dia melihat seorang perempuan jatuh karena pakai heels setinggi 7cm. Epic fail nonton konser pake heels. Hahaha. Sepertinya newbie.

Di hari ketiga, tepat pukul 1 siang saya keluar dari pintu rumah menuju Gambir Expo Kemayoran, tempat berlangsungnya Synchronize Fest. Saya naik kereta dari Stasiun Duren Kalibata dan turun di Stasiun Sawah Besar lalu lanjut naik Grab menuju lokasi. Saya ingin menonton yang pertama nampil hari itu, Mondo Gascaro. Akhirnya setelah selalu mendengarkan musiknya, saya bisa menontonnya langsung. Saya lupa sejak kapan tepatnya saya nge-fans. Saya jatuh cinta pada musiknya. Dia sebelumnya adalah anggota band dari Sore yang juga favorit saya, kemudian keluar dan memutuskan solo karir. Mondo Gascaro juga adalah seorang penulis lagu dan produser. Keren pokoknya.

Setelah itu saya juga menengok sebentar ke Sisitipsi. Saya baru mendengar band ini dan lumayan bagus. Saya sedang menunggu penampilan Danilla yang juga sangat saya impikan. Saya suka sekali mendengarkan lagu-lagu Danilla di pagi hari yang sepi. Lagunya bernuansa suram tapi saya suka. Sayang sekali Danilla tampil di panggung District Stage, tempat ini agak sempit untuk penonton Danilla yang membludak. Saya saja harus jinjit-jinjit menonton Danilla. Dia memang aslinya cantik seperti yang saya baca di ulasan-ulasan tentangnya. Hehe.

Menjelang maghrib, saya bergeser menonton Kahitna. Band legendaris yang juga sulit dilupakan penggemarnya. Tapi saya hanya menonton dari belakang karena saya mengikuti kakak-kakak senior dari Makassar yang juga menetap di Jakarta. Mereka tiba di acara tepat saat Kahitna nampil di panggung. Akhirnya kami menonton bersama sepanjang malam itu, dan saya harus merelakan tidak berlarian menonton beberapa band. Lagi pula malam itu saya terus-terusan mengeluh dengan kaki dan pinggang yang sakit. Ya ampun, apa saya sudah terlalu tua menonton konser terlalu lama? Hahaha.

Penampilan Endah dan Rhesa tak kami lewatkan. Pasangan yang mengagumkan ini memang tidak pernah gagal menghibur penontonnya. Selalu suka dengan aksi panggung mereka, meskipun saya jarang mendengarkan lagu-lagu mereka. Lalu saya berlari sebentar menonton The Trees and The Wild, saya sedikit penasaran dengan band ini. Akhirnya kakak-kakak mengajak kami nonton Payung Teduh, band yang belakangan ini naik daun. Semua orang seperti tahu lagunya dan ikut menyanyi. Dynamic Stage begitu padat penonton. Saya menandai bahwa belakangan Payung Teduh juga menambah warna dalam lagu-lagu di konsernya. Si vokalis sendiri bercerita bahwa mereka tidak lama lagi merilis album baru yang menambah kesan jazz dan rock dalam lagu-lagunya.

Sebegitu seringnya saya mengeluhkan kaki dan pinggang yang sakit, saya kebanyakan duduk di belakang. Sempat menonton Koil sebentar. It has been too long since the last time I watched this rock band. Nah yang paling saya tandai di sini, penontonnya banyak yang agak tua. Wajar, mengingat Koil adalah band rock tahun 90-an. Lalu saya berlari sebentar ke Silampukau dan kabur lagi menonton Naif. Penonton Naif adalah penonton paling atraktif selama tiga hari saya ada di Synchronize Fest. Saya bahkan puas berjoget ria selama menonton Naif. Thanks Naif for taking us back to the past and memories.

Atas permintaan Kak Halik, salah satu senior yang saya temani menonton, kami melipir ke Base Jam Reunion. Kami semua duduk kelelahan di bagian belakang tapi Kak Halik menikmati nostalgia bersama Base Jam di depan. Have fun, Kak. Hahaha. Setelah menonton Base Jam, kami langsung mengambil tempat lagi didepan Dynamic Stage menunggu penampilan Slank, namun saya sempat kabur menonton Seringai bersama Puspa. Ini juga salah satu band andalan yang paling saya tunggu-tunggu penampilannya. Lebih suka daripada Burgerkill. Hahaha.


Saya juga sempat menonton Stars & Rabbit beberapa menit. Sayangnya saya tidak sempat menonton Kelompok Penerbang Roket gara-gara temani kakak-kakak heboh. Jadinya hanya nonton Slank dari belakang. Perkiraan saya, penonton Slank juga akan ramai seperti Naif tapi kenyataannya tidak. Entah kenapa, padahal Slank adalah band legenda yang tak habis penggemar. Beberapa menit setelah Slank mulai, di panggung sebelah, Lake Stage, juga mulai penampilan Glenn Fredly. Orang-orang berbondong-bondong pindah panggung. Sempat juga Glenn berhenti bermain karena dikalahkan oleh suara penonton menyanyikan lagu Slank. Glenn malah memandu penontonnya ikut menyanyikan lagu Slank sejenak. Glenn menjadi favorit sekaligus menjadi artis penutup hari trakhir Synchronize Fest. Senang sekali sempat menonton kolaborasi Glenn Fredly dan Mondo Gascaro malam itu. Hari terakhir adalah hari yang paling ramai pengunjung diantara tiga hari acara musik keren ini. Saya pulang dengan kaki dan pinggang yang sakit sampai dua hari berikutnya tapi bahagianya masih tetap tinggal sampai hari saya menulis ini. Thanks, Synchronize!


Penting bagi seseorang untuk mengatakan keberpihakannya: Di mana, mengapa, atau saat ia sekadar berasumsi dan cenderung bias. Semacam pengajuan pendapat seorang anggota dalam satu kelompok. Maka, saya akan berbicara tentang membaca. 
Membaca fiksi atau membaca untuk kesenangan adalah salah satu hal penting yang bisa dilakukan. Saya akan membuat permohonan yang berapi-api kepada orang untuk mengerti: apa itu perpustakaan dan pustakawan. Lalu, memohon agar mereka mempertahankan kedua hal tersebut.
Pilihan saya bias, jelas dan sangat; saya adalah seorang penulis, kadang menulis fiksi. Saya menulis untuk anak-anak dan dewasa. Selama tiga puluh tahun, saya mencari penghasilan melalui kata-kata, Kebanyakan tentang membuat hal-hal dan menuliskannya. Tentu saja, saya ingin agar orang-orang membaca; melahirkan perpustakaan dan pustakawan; atau membantu menumbuhkan kecintaan terhadap membaca dan tempat-tempat membaca.
Jadi saya bias sebagai seorang penulis. Tetapi saya lebih bias sebagai pembaca. Bahkan, lebih bias lagi sebagai seorang warga Inggris.
Dan saya di sini untuk membicarakan hal ini, malam ini, di bawah naungan Reading Agency; sebuah misi amal yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang, dengan membantu mereka untuk percaya diri dan semangat membaca. Mendukung program literasi, perpustakaan dan gerak nyata untuk mendorong kegiatan membaca. Karena, mereka berkata, semuanya berubah ketika kita membaca.
Dari perubahan dan kegiatan membaca itulah, saya hadir malam ini. Saya ingin mengobrol tentang apa yang bisa dilakukan dengan membaca dan apa manfaatnya.
Saya pernah berada di New York dan mendengarkan pembicaraan tentang membangun penjara pribadi--sebuah pertumbuhan industri yang pesat di Amerika. Industri penjara tersebut membutuhkan rencana pertumbuhan masa depannya--seberapa banyak sel yang mereka butuhkan? Berapa banyak tahanan yang akan ada 15 tahun dari sekarang? Mereka memprediksinya dengan mudah. Menggunakan algoritma sederhana berdasarkan pertanyaan berapa persen dari anak umur 10 dan 11 tahun yang buta huruf. Dan tentu saja, termasuk mereka yang tidak bisa membaca untuk kesenangan.
Ini bukan tentang hubungan satu hal dan yang lainnya: kita tidak bisa bilang bahwa masyarakat literasi tidak melakukan tindakan kriminal. Tetapi, kedua hal tersebut betul-betul memiliki korelasi yang nyata. Beberapa dari korelasi tersebut datang dari sesuatu yang sangat sederhana: masyarakat melek huruf yang membaca fiksi.
Fiksi memiliki dua kegunaan. Pertama, gerbang untuk kecanduan membaca. Dorongan untuk mengetahui kejadian berikutnya, keinginan membalik halaman, kebutuhan untuk melanjutkan, walaupun hal itu sulit, karena seseorang dalam masalah dan kita harus tahu bagaimana akhirnya, hal itu adalah dorongan yang nyata. Hal itu mendorongmu untuk mempelajari kosa kata baru, gagasan baru, untuk tetap melanjutkan dan menemukan bahwa membaca adalah hal yang menyenangkan. Sekali kita mempelajarinya, kita berada di jalan untuk membaca segalanya. 
Membaca adalah kunci. Beberapa tahun lalu, hadir wacana bahwa kita hidup di dunia post-literasi, di mana kemampuan untuk membuat kata-kata yang masuk akal sangat berlebihan. Tetapi, itu sudah jauh terlewati. Kata-kata kini lebih penting dari yang pernah ada. Kita menjejaki dunia dengan kata-kata, dan karena dunia tergelincir ke media digital, kita perlu mengikuti, untuk berkomunikasi dan memahami apa yang kita baca. Orang-orang yang tidak bisa mengerti satu sama lain tidak mampu bertukar gagasan, tidak bisa berkomunikasi, dan program terjemahan tidak banyak berubah.
Cara yang paling sederhana untuk memastikan peningkatan jumlah anak-anak melek huruf adalah mengajari mereka membaca, dan menunjukkan bahwa membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Secara sederhana berarti menemukan buku yang mereka sukai, memberikan akses untuk itu, dan membiarkan mereka membacanya.
Saya berpikir tidak akan ada buku yang buruk untuk anak-anak. Sekarang dan nanti, hal itu menjadi tren di antara orang-orang dewasa untuk menjadi bagian dari buku anak-anak. Entah itu genre atau seorang penulis. 
Lalu, mereka memberitahukan tentang buku yang buruk atau buku yang seharusnya tidak dibaca anak-anak. Saya menyaksikannya beberapa kali; Enid Blyton dikatakan sebagai penulis yang buruk, juga RL Stine, dan beberapa lainnya. Komik dicela sebagai pendorong buta huruf.
Omong kosong. Hal itu adalah keangkuhan dan kebodohan. Tidak ada penulis yang jelek bagi anak-anak, karena setiap anak berbeda. Mereka bisa menemukan cerita yang mereka butuhkan, dan membawa diri mereka ke dalamnya. Ide lama tidak basi dan usang, sebab banyak cerita yang menjadi pengalaman pertama bagi mereka. Jangan menakut-nakuti anak-anak untuk membaca hanya karena merasa mereka membaca hal yang salah. Fiksi yang kita benci adalah rute ke buku yang mungkin kita pilih. Dan, semua orang punya selera yang berbeda, bukan?
Pemahaman orang dewasa bisa dengan mudah menghancurkan kesenangan membaca anak-anak: menghentikan mereka membaca hal-hal yang mereka senangi atau memberi bacaan-bacaan yang kita suka--bacaan layak tetapi membosankan. Abad ke-21 setara dengan meningkatkan literasi Victorian. Kita akan berakhir dengan generasi yang meyakini bahwa membaca itu tidak keren, buruk, dan tidak menyenangkan.
Kita butuh anak-anak kita untuk menaiki jenjang membaca; apapun bacaan yang mereka nikmati akan memajukan mereka, anak tangga demi anak tangga, dalam literasi. (Juga, jangan lakukan apa yang penulis ini lakukan ketika anak gadisnya yang berumur 11 tahun membaca RL Stine, yang juga mendapatkan kopian buku berjudul Carrie oleh Stephen King, bahwa kalau menyukai ini maka akan menyukai itu juga! Holly tidak membaca apapun selain cerita-cerita aman tentang pemukim di padang rumput selama masa remajanya, dan masih membelalak ketika nama Stephen King disebutkan).
Hal kedua yang fiksi lakukan adalah membangun empati. Ketika kita menonton TV atau film, kita melihat hal-hal yang terjadi pada orang lain. Fiksi prosa adalah sesuatu yang kita bangun dari 26 huruf dan sekumpulan tanda baca, dan masing-masing dari kita, menggunakan imajinasi sendiri, menciptakan dunia dan mengisinya dengan orang-orang dan melihat melalui mata orang lain. Kita kemudian merasakan sesuatu, mengunjungi tempat-tempat dan dunia yang tidak pernah kita ketahui. Kita belajar bahwa semua orang di luar sana adalah diri kita sendiri, tentu saja. Kita menjadi orang lain, dan ketika berputar kembali ke dunia sendiri, kita tiba-tiba saja berubah.
Empati adalah alat untuk membangun orang-orang dalam kelompok agar kita lebih dari sebuah obsesi diri sendiri.
Kita juga menemukan sesuatu yang penting untuk membuat jalan bagi diri sendiri. Semisal: Dunia tidak semestinya seperti ini. Semua hal bisa atau mungkin harus berubah.
Saya berada di China tahun 2007, saat fiksi-ilmiah dan  konvensi fantasi disetujui untuk pertama kalinya dalam sejarah China. Pada satu titik, saya bertanya pada seorang pejabat, Mengapa? Bukankah Fiksi-ilmiah telah lama disetujui. Apa yang berubah?
Sederhana saja, katanya. Orang-orang Cina sangat brilian membuat hal-hal jika orang-orang lain membawakan mereka rencana-rencana. Tetapi mereka tidak berinovasi dan menciptakan. Mereka tidak berimajinasi. Jadi mereka mengirimkan delegasi ke Amerika Serikat, Apple, Microsoft, Google dan mereka menanyai orang-orang di sana yang menciptakan masa depan. Mereka menemukan bahwa mereka semua membaca fiksi-ilmiah ketika remaja.
Fiksi mampu menunjukkan dunia yang lain. Hal itu bisa membawa ke tempat-tempat yang tidak pernah kita kunjungi. Sekali mengunjungi dunia lain, kita seperti memakan buah ajaib. Kita tidak akan pernah lagi hanya menjadi bagian dari dunia tempat kita tumbuh. Kita mungkin akan kecewa. Namun, perasaan kecewa adalah hal yang baik. Orang-orang yang kecewa mampu memodifikasi dan mengimprovisasi dunia mereka: membuatnya lebih baik, membuatnya berbeda.
Selagi kita berada dalam pokok persoalan ini, saya ingin mengatakan beberapa hal tentang eskapisme. Saya mendengar istilah itu dilarang seperti hal itu adalah hal buruk. Jika saja fiksi-eskapis adalah candu yang murahan digunakan oleh pengacau, orang bodoh, dan penipu. Lalu fiksi yang berharga, untuk orang dewasa dan anak-anak, hanya fiksi yang meniru-niru saja, bercermin pada yang paling buruk di dunia ini ditemukan pembaca dalam diri mereka sendiri.
Jika kita terperangkap dalam situasi yang mustahil, di tempat yang tidak menyenangkan, dengan orang yang tidak kita senangi, lalu seseorang datang mengajak ke tempat pelarian sementara, mengapa kita tidak menerimanya? Dan fiksi-eskapis adalah fiksi yang membuka pintu, menunjukkan cahaya matahari di luar sana, memberikan tempat di mana kita terkendali, bersama orang-orang yang kita inginkan (dan buku adalah tempat yang nyata, jangan membuat kesalahan dengan itu); dan yang paling penting, selama pelarian tersebut, buku juga bisa memberi kita pengetahuan tentang dunia dan keadaan yang sulit, memberi senjata, pelindung diri: hal nyata yang bisa kita ambil kembali ke dalam penjara. Keahlian, pengetahuan, dan alat yang bisa kita gunakan untuk pelarian yang sebenarnya.
Seperti yang dikatakan oleh JRR. Tolkien, hanya sipir yang mengancam atau menentang pelarian.
Jalan lain untuk menghancurkan anak kecil yang suka membaca, tentu saja, adalah memastikan tidak ada buku di sekelilingnya. Dan tidak membolehkan mereka ke manapun untuk membaca buku. Saya beruntung. Saya memiliki perpustakaan lokal bagus yang berkembang. Saya memiliki orang tua yang bisa dibujuk membawa saya ke perpustakaan saat perjalanan liburan musim panas, dan dengan pustakawan yang tidak berpikiran sempit – tidak menemani seorang anak laki-laki menuju perpustakaan anak-anak setiap pagi dan memberikan kartu katalog, mencari buku tentang hantu atau sihir atau roket-roketan, tentang vampir atau detektif atau penyihir atau keajaiban-keajaiban.
Dan ketika saya selesai membaca bagian anak-anak di perpustakaan, saya memulai di bagian dewasa.
Mereka adalah pustakawan-pustakawan yang baik. Mereka menyukai buku dan menyenangi buku-buku yang dibaca. Mereka mengajari saya cara memesan buku dari perpustakaan lain. Mereka tidak pernah angkuh tentang apapun yang saya baca. Mereka hanya menyukai ada anak bermata besar yang suka membaca. Mereka berbicara kepada saya tentang buku-buku yang saya baca, membantu menemukan seri buku yang lain. Mereka memperlakukan saya seperti pengunjung lain – tidak lebih dan tidak kurang – yang artinya mereka menghargai saya. Saya tidak diperlakukan seperti anak yang berusia delapan tahun sebagaimana biasanya.
Tetapi perpustakaan adalah tentang kebebasan. Kebebasan membaca, kebebasan ide, kebebasan berkomunikasi. Perpustakaan adalah persoalan tentang pendidikan (bukan tentang sebuah proses di mana kita akan selesai saat meninggalkan sekolah atau universitas), tentang hiburan, tentang membuat lingkungan nyaman, dan tentang mengakses informasi. 
Saya khawatir bahwa di abad 21, orang-orang salah pengertian tentang perpustakaan dan tujuannya. Jika kita menganggap bahwa perpustakaan adalah setumpuk buku di rak, itu akan sangat mudah terlihat kuno dan usang di dunia yang kebanyakan (meski tidak semua) buku-buku hanya hadir secara digital. Pendapat seperti itu kehilangan poin yang sangat fundamental.
Saya merasa bahwa hal itu seharusnya dilakukan dengan informasi yang alami. Informasi memiliki nilai dan informasi yang benar memiliki nilai lebih. Dari sejarah manusia, kita hidup dalam kekurangan informasi, dan kebutuhan akan informasi selalu menjadi hal yang penting dan selalu berharga: kapan menanam, di mana mencari sesuatu, peta, sejarah, dan cerita-cerita – semua itu selalu menjadi bahan baku untuk makanan dan perusahaan. Informasi adalah hal yang bernilai, dan mereka yang memiliki atau membuatnya bisa mendapatkan keuntungan.
Beberapa tahun belakangan, kita berpindah dari ekonomi informasi langka ke satu kendali informasi yang melimpah. Menurut Eric Schmidt dari Google, setiap dua hari, ras manusia membuat banyak informasi yang kita lakukan dari awal peradaban sampai tahun 2003. Kira-kira sebanyak lima exobyte data per hari. Bagi mereka yang berhitung, tantangannya menjadi: bukan menemukan tanaman langka yang tumbuh di gurun pasir, tetapi menemukan tanaman spesifik yang tumbuh di hutan. Kita akan membutuhkan bantuan menemukan informasi yang sebenarnya kita butuhkan.
Perpustakaan adalah tempat orang mencari informasi. Buku hanyalah petunjuk dari informasi yang menggunung: mereka ada, dan perpustakaan bisa menyediakan secara bebas dan resmi dengan buku. Lebih banyak anak-anak yang meminjam buku dari perpustakaan daripada sebelumnya – semua jenis buku: koran, digital dan audio. Tetapi perpustakaan juga, sebagai contoh, tempat di mana orang-orang, yang mungkin tidak memiliki komputer, yang mungkin tidak memiliki koneksi internet, bisa masuk ke dunia maya tanpa membayar apapun: sangat penting ketika kita mencari dan mendaftar pekerjaan atau mencari keuntungan untuk bermigrasi secara eksklusif di dunia maya. Pustakawan bisa membantu orang-orang ini untuk menjejaki dunia tersebut.
Saya tidak percaya bahwa semua buku akan atau harus bermigrasi ke layar: seperti yang Douglas Adams katakan padaku (lebih dari 20 tahun sebelum Kindle berubah), buku fisik seperti hiu. Hiu adalah binatang tua: ada hiu dalam lautan sebelum dinosaurus. Dan alasan mengapa masih ada hiu karena hiu lebih baik menjadi hiu daripada menjadi yang lainnya. Buku fisik itu kuat, sulit dihancurkan, bisa digunakan saat berendam atau saat di luar rumah, terasa nyaman di tangan: buku akan selalu baik menjadi buku dan akan selalu ada tempat yang tersedia untuknya. Milik perpustakaan yang sama seperti perpustakaan tempat kita bisa menemukan buku eletronik, buku audio, DVD, dan konten web.
Perpustakaan adalah tempat penyimpanan informasi dan menberikan hak yang sama bagi semua masyarakat untuk mengaksesnya. Termasuk informasi kesehatan. Dan informasi kesehatan jiwa. Ruang yang terbuka. Tempat aman, surga dunia. Tempat para pustakawan. Seperti apa perpustakaan masa depan adalah sesuatu yang harus kita bayangkan saat ini.
Literasi lebih penting daripada sebelumnya, di dunia teks dan surat elektronik, sebuah dunia dengan informasi tertulis. Kita perlu menulis dan membaca, kita membutuhkan orang-orang yang bisa membaca dengan nyaman, memahami apa yang mereka baca, mengerti nuansa dan memahaminya.
Perpustakaan adalah gerbang masa depan. Jadi sayang sekali, di seluruh dunia, kita mengobservasi pemerintah setempat yang menutup perpustakaan dengan alasan penghematan, tanpa menyadari bahwa mereka mencuri masa depan  untuk membayar masa kini. Mereka menutup gerbang yang seharusnya terbuka.
Berdasarkan studi baru-baru ini oleh Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi, Inggris adalah satu-satunya negara di mana sekelompok orang tua memiliki keahlian dalam literasi dan berhitung daripada kelompok anak muda setelah faktor-faktor lain seperti gender, latar belakang sosio-ekonomi, dan tipe pekerjaan yang dilakukan.
Atau untuk melihat cara lain, anak-anak dan cucu kita kurang melek huruf dan kurang pengetahuan tentang angka daripada kita. Mereka kurang mampu menjajaki dunia, untuk mengerti dan memecahkan masalahnya. Mereka lebih mudah terbaring dan tersesat, akan kurang mampu mengubah dunia tempat mereka, kurang pekerjaan. Semua hal tersebut. Dan sebagai sebuah negara, Inggris akan jatuh terbelakang dibandingkan negara berkembang lainnya karena kekurangan sumber daya ahli.
Buku adalah cara kita berkomunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Cara kita belajar dari yang orang yang tidak bersama kita, kemanusiaan yang terbangun sendiri, berkembang, membuat pengetahuan bertambah daripada sesuatu harus kita pelajari lagi terus menerus.  Ada legenda yang lebih tua daripada beberapa negara, legenda yang mengabadikan kebudayaan dan tempat-tempat pertama kali mereka diceritakan.
Saya kira kita bertanggungjawab terhadap masa depan. Tanggung jawab dan kewajiban kepada anak-anak, kepada orang dewasa yang menjadi masa depan anak-anak itu, kepada dunia tempat mereka berdiam. Kita semua – sebagai pembaca, penulis, masyarakat – memiliki kewajiban itu. Saya pikir saya akan mencoba dan mengeja kewajiban-kewajiban itu di sini.
Saya percaya kita memiliki kewajiban membaca untuk kesenangan, secara privasi ataupun di tempat-tempat umum. Jika kita membaca untuk kesenangan, jika orang lain melihat kita membaca, kemudian kita belajar, kita melatih imajinasi. Kita memperlihatkan bahwa membaca adalah hal yang baik.
Kita berkewajiban untuk mendukung perpustakaan. Menggunakan perpustakaan, mendorong orang lain menggunakan perpustakaan, memprotes penutupan perpustakaan. Jika kita tidak menghargai perpustakaan maka kita tidak menghargai informasi atau kebudayaan atau kebijaksanaan. Kita mendiamkan suara-suara masa lalu dan merusak masa depan.
Kita berkewajiban membaca keras-keras untuk anak-anak kita. Membacakan hal-hal yang mereka senangi, membacakan mereka cerita yang mungkin telah lelah kita lakukan. Untuk menyuarakannya, membuatnya menarik, dan tidak berhenti membaca untuk mereka hanya karena mereka belajar membaca untuk diri sendiri. Menggunakan suara keras saat membaca sebagai waktu-waktu wajib, di waktu-waktu saat tidak harus selalu mengecek telepon selular, ketika pengalihan-pengalihan lain di dunia disingkirkan.
Kita berkewajiban menggunakan bahasa. Mendorong diri kita: menemukan arti kata dan cara menggunakannya, untuk berkomunikasi dengan jelas, untuk menjelaskan maksud kita. Kita tidak boleh berusaha membekukan bahasa, atau berpura-pura bahwa dia adalah benda mati yang harus dipuja-puja, tetapi kita harus menganggapnya sebagai benda hidup, yang mengalir, yang meminjam kata-kata, yang membiarkan makna dan pelafalan berubah bersama waktu. 
Kita penulis – entah itu penulis untuk anak-anak atau bukan– memiliki kewajiban kepada pembaca: kewajiban untuk menulis hal-hal yang benar, khususnya yang terpenting ketika kita membuat legenda untuk orang yang tidak pernah ada di tempat kita hidup – untuk mengerti bahwa kebenaran adalah bukan yang terjadi, melainkan sesuatu yang menjelaskan diri kita. Fiksi sebenarnya adalah kebohongan yang menceritakan kebenaran. Kita memiliki kewajiban untuk tidak membuat bosan pembaca, tetapi membuat mereka membalik halaman. Salah satu obat terbaik untuk pembaca yang enggan, lagipula, adalah sebuah legenda yang membuat mereka tidak berhenti membaca. Dan kita mesti memberitahu pembaca tentang kebenaran, memberi senjata, pelindung, dan jalan di kebijakan manapun yang kita kumpulkan sedikit demi sedikit dari hidup singkat di dunia hijau ini, kita berkewajiban untuk tidak mengkhotbah, tidak mengajari, tidak melawan moral dan pesan untuk pembaca. Tidak menjejalkan sesuatu seperti orang dewasa memberi makan bayi-bayi mereka yang belum bisa mengunyah makanan; dan kita memiliki kewajiban, dalam keadaan apapun, tidak akan pernah menulis sesuatu untuk anak-anak yang kita sendiri tidak ingin baca.
Kita memiliki kewajiban untuk memahami dan mengerti bahwa sebagai penulis untuk anak-anak, kita melakukan pekerjaan penting, karena jika kita mengacaukannya dan menulis buku sampah yang menjauhkan anak-anak dari membaca dan buku, kita telah memperkecil masa depan dan mengurangi semangat mereka.
Kita semua- dewasa dan anak-anak, penulis dan pembaca- memiliki kewajiban kepada lamunan kita. Kita memiliki kewajiban untuk berimajinasi. Mudah untuk berpura-pura bahwa tidak ada orang yang bisa mengubah apapun, bahwa kita berada di dunia yang memiliki masyarakat yang besar dan individu hampir tidak ada apa-apanya; sebuah atom di dinding, segenggam beras di sawah. Tetapi kebenarannya adalah, individu mengubah dunia terus menerus, individu membuat masa depan, dan mereka melakukannya dengan berimajinasi tentang hal-hal yang berbeda.
Berhenti sejenak dan lihatlah ruangan di sekeliling kita. Saya ingin menunjuk sesuatu sangat jelas dan sepertinya terlupakan. Inilah: semua yang kita lihat, termasuk dinding-dinding, pada waktu tertentu, diimajinasikan. Seseorang memutuskan bahwa lebih mudah duduk di kursi daripada di lantai dan membayangkan kursi. Seseorang harus berimajinasi bahwa saya bisa berbicara dengan Anda di London sekarang tanpa seorang pun dari kita terkena hujan. Ini adalah ruangan dan barang-barang di dalamnya, dan semua hal lain dalam gedung ini, kota ini, hadir karena, orang-orang membayangkan sesuatu secara terus menerus.
Kita berkewajiban untuk membuat hal-hal indah. Tidak membuat hal-hal menjadi jelek dari sejak kita menemukannya, tidak mengosongkaan lautan, tidak meninggalkan masalah untuk generasi berikutnya. Kita berkewajiban membersihkan diri kita sendiri, dan tidak meninggalkan dunia yang selayang pandang telah kacau, remehkan, dan lumpuhkan untuk anak-anak kita.
Kita berkewajiban memberitahu para politisi apa yang kita inginkan, untuk memilih melawan politisi atau partai apapun yang tidak mengerti nilai membaca dan membuat masyarakat yang bermanfaat, yang tidak ingin bertindak untuk mempertahankan dan melindungi pendidikan serta mendorong literasi. Ini bukanlah masalah dari partai politik. Ini adalah masalah kemanusiaan.
Bagaimana kita membuat anak-anak pintar? Seseorang pernah bertanya kepada Albert Einstein. Lalu dijawab dengan sederhana dan bijak, “Jika Anda ingin anak-anakmu pintar,” katanya, “bacakan mereka dongeng. Jika Anda ingin mereka lebih pintar, bacakan mereka lebih banyak dongeng.” Dia memahami arti dari membaca dan berimajinasi. Saya berharap kita bisa memberikan anak-anak kita sebuah dunia di mana mereka akan membaca, dibaca, membayangkan, dan memahami.

*terjemahan bebas dari pidato Neil Gaiman yang diterbitkan The Guardian
https://www.theguardian.com/books/2013/oct/15/neil-gaiman-future-libraries-reading-daydreaming
Pernah memiliki pacar seorang synthesizer membuat saya memiliki banyak referensi musik elektro. Hahaha. Maka dari itu saya senang sekali waktu melihat program Goethe Haus bernama Alur Bunyi yang akan menampilkan banyak musisi elektro. Meskipun saya bukan penggemar berat musik elektro, tapi pada dasarnya semua genre mampu mengalir di telinga saya. I’m madly in love with music. Lalu, saya berjanji pada diri bahwa saya akan mendatanginya setiap bulan. Kebetulan saya ada di Jakarta sejak program itu dimulai.
Pertama kali datang ke Alur Bunyi, saya mendengarkan seorang DJ bernama Linnea yang berkolaborasi dengan Sady dan Jevin Julian. Semalam saya menonton edisi kedua Alur Bunyi yang menampilkan Gerald Situmorang berkolaborasi dengan 6 cowok keren lainnya. Selalu mudah untuk jatuh cinta pada musisi. Sejak nada pertama dimainkan saya sudah jatuh cinta dengan ternganga-nganga melihat dan mendengar permainan musik mereka.  Mereka semacam geng cowok dengan kualitas tertinggi untuk dijadikan pacar. Hahaha.
Lagu pertama yang mengalun terasa kental dengan musik Jazz. Mungkin karena permainan dari Adra Karim yang memang seorang pemain musik jazz. Saya terus memperhatikan permainan keyboard-nya. Yah saya tidak terlalu terbiasa dengan istilah-istilah musik yang biasa dituliskan ketika mengulas tentang musik, jadi saya tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Bedanya, saat itu semua mata menatap kagum dengan Agung Munthe. Terlihat kalau dia sangat menguasai alat yang ada di depannya dan dia betul-betul ahli, apa bisa ya dibilang maestro? Hahaha. Permainan Agung memukau. Tentu saja yang menguasai pesona panggung tetap si empu album, Gerald Situmorang.
Alur Bunyi edisi ini memang khusus diisi oleh Gerald Situmorang sekaligus peluncuran album solo barunya, Dimension. Di album ini dia banyak dibantu oleh Marco Steffiano dan Randy MP, sahabat bermusiknya sejak 10 tahun yang lalu. Dimension adalah lagu yang dia tulis setelah dia mendengar cerita seorang temannya yang bermimpi memasuki dimensi-dimensi kehidupan orang tua si pemimpi dan menangis saat terbangun. Akhirnya, setelah mengobrol dengan beberapa teman yang sekaligus bersedia membantunya, dia memutuskan untuk membuat album bertajuk Dimension. Tapi lagu-lagu selain yang berjudul Dimension memang sudah ditulis sebelum Dimension ada
Saya sendiri sangat penasaran dengan lagu ketiga yang mereka mainkan. Semacam lagu anak-anak yang menyenangkan sekaligus sedih tapi bukan lagu yang paling saya sukai diantara yang mereka mainkan malam itu. Di panggung Alur Bunyi Goethe Haus hari Kamis, 20 September ini, Gerald bermain bersama dua sahabatnya yang ahli sequencer dan effect, Marco Steffiano dan Randy MP. Lalu ada Agung Munthe dan Adra Karim, dua orang synthesizer kece yang saya sebutkan di atas tadi turut bermain di panggung. Ada vokalis yang hanya bernyanyi di beberapa lagu bernama Baskoro Juwon dan seorang drummer elektrik yang khusus membeli alatnya untuk panggung ini yaitu, Jessilardus Mates.
Menyelami lagu-lagu Gerald seperti berada di luar angkasa yang hampa, mungkin karena efek video animasi yang menjadi background lagu selama di panggung. Saya suka sekali videonya, ceria dan abstrak, sesuai sekali dengan lagu-lagunya. Video ini dibuat oleh Artisa Tumiwa. Satu lagu Gesit berjudul Dice yang cukup familiar di telinga penonton. Setelah menontonnya, saya baru tahu kalau Gerald Situmorang itu lucu, suka bercanda. Well, saya follower-nya di Instagram dan dia memang terlihat kocak, tapi baru kali ini saya menyaksikan langsung gaya bercandanya. Seperti tidak menyangka gaya kocak seperti itu bisa menciptakan musik yang agak bikin penasaran, beat-nya dingin tapi menaikturunkan mood. Euh, entahlah! Hahaha.

Setelah menutup panggung, penonton berteriak, encore, serasa masih ingin mendengarkan lagi. Akhirnya Gerald bermain lagi sendirian, cukup lama, namun hanya menggunakan gitar biasa saja. Mengalun indah, pas sekali sebagai penutup kebahagiaan saya malam itu. Terima kasih penghiburannya, Gesit! Sukses ya. 
Langganan: Postingan ( Atom )

About Me

Foto saya
Weny Mukaddas
usual nerd girl with glasses
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

  • ►  2018 (6)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (3)
    • ▼  Oktober (1)
      • Synchronize Fest
    • ►  September (2)
      • Neil Gaiman: Mengapa Masa Depan Kita Bergantung Pa...
      • Dimension
  • ►  2016 (7)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2015 (16)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (3)
  • ►  2014 (18)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (12)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (8)
  • ►  2009 (20)
    • ►  April (20)

LATEST POSTS

  • Menulis adalah Kekuasaan
    Menulis adalah cara melepaskan diri dari kegilaan, kata Agus Noor. Hujan memang sedang gila-gilaan menggedor loteng Rumata Art Space pada h...
  • Pendongeng untuk Aufa dan Althaf
    Kak Nana, anak ekonomi. For sure! Setelah beberapa kali bertemu dia di beberapa event, belakangan saya tahu kalau dia anak ekonomi. Kebet...
  • Dear Tari, Perempuan Misterius yang Jatuh Cinta Pada Masa Lalu
        Saya mau ber- HIGH FIVE dengan Kak Tari. Ini kali kedua saya menengok blog -nya. Pertama, waktu dia me- review blog saya dan kedua ada...
  • Morning Overture
    Aku tak pernah lupa Saat itu air hujan dan matahari sedang berlomba menyambut pagi. Antara menyelami lautan dengan cahaya Atau tenggelam ...
  • Mudik dan Kapan Menikah
    “Kapan menikah?” semacam pertanyaan menakutkan bagi orang berusia diatas 25tahun yang belum memiliki pasangan. Menjelang hari raya Idul Fit...
  • Gelombang Alfa Penuntun Kearifan
    SUPERNOVA :  GELOMBANG Karya Dewi Lestari Penyunting : Ika Yuliana Kurniasih Yogyakarta: Penerbit Bentang (PT. Bentang Pusaka) ...
  • Eks Tapol
    Buku               : Mati Baik-Baik, Kawan. Pengarang       : Martin Aleida             Membaca Martin Aleida semacam tengge...
  • diam
    Thursday, March 12, 2009 at 4:34pm | diam ??? diam slalu saja memupukkan kebingunganku diam tak pernah menyelesaikan kemelut ini...
  • The Curious Case Of Benjamin Button
    Judul Buku             : Kisah Aneh Benjamin Button Judul Asli               : The Curious Case Of Benjamin Button Pe...
  • Kutukan
    Seperti kutukan. Aku membiru, bimbang dalam diam Sementara hatiku semacam meriam. Kau mempekerjakan anggota tubuhmu secara bebas dan baha...

Social Media

Facebook  Instagram Linkedin Path Yahoo

Twitter

Tweets by @weenny_
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Copyright 2014 w.
Designed by OddThemes